Jejak Awal Pembakuan Bahasa Melayu oleh Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda melakukan upaya awal pembakuan Bahasa Melayu yang sangat signifikan, terutama untuk kepentingan administrasi dan pendidikan mereka. Langkah ini, meskipun berakar pada tujuan kolonial, secara tidak langsung meletakkan fondasi bagi perkembangan Bahasa Indonesia modern. Upaya ini menjadi krusial dalam menyatukan ragam dialek Melayu yang ada, menciptakan standar komunikasi yang lebih seragam di seluruh wilayah jajahan.
Salah satu tonggak penting dalam pembakuan Bahasa Melayu adalah penyusunan ejaan Van Ophuijsen pada awal abad ke-20. Ejaan ini, yang disusun oleh Charles Adriaan van Ophuijsen, seorang ahli bahasa Belanda, bersama dengan dibantu oleh Engku Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim, menjadi dasar formal penulisan Bahasa Melayu. Ini adalah upaya sistematis pertama untuk mengatur ortografi bahasa yang akan sangat memengaruhi perkembangan selanjutnya.
Ejaan Van Ophuijsen, dengan segala kekurangannya, menjadi standar resmi di seluruh wilayah Hindia Belanda. Ini termasuk di ibu kota, Batavia (kini Jakarta), yang merupakan pusat pemerintahan dan pendidikan kolonial. Dengan adanya ejaan yang seragam, komunikasi tertulis menjadi lebih terstruktur dan mudah dipahami, sangat membantu dalam urusan administrasi dan penyebaran informasi di tengah masyarakat yang majemuk.
Tujuan utama pembakuan Bahasa ini oleh Belanda adalah untuk memudahkan birokrasi dan administrasi kolonial. Dengan satu standar bahasa yang jelas, mereka bisa mengelola wilayah jajahan yang luas dengan lebih efisien, dari pembuatan laporan hingga penerbitan peraturan. Bahasa Melayu yang baku mempermudah interaksi antara pejabat Belanda dan pribumi terdidik, meningkatkan efektivitas pemerintahan mereka.
Selain itu, pembakuan Bahasa Melayu juga penting untuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Materi pelajaran dan buku teks dapat disusun dalam satu standar bahasa, memudahkan proses belajar mengajar. Meskipun terbatas pada kalangan tertentu, pendidikan berbahasa Melayu baku ini turut mencetak generasi terdidik yang nantinya berperan dalam perjuangan kemerdekaan, sebuah ironi sejarah yang menarik.
Ejaan Van Ophuijsen memang memiliki ciri khas yang berbeda dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) yang kita kenal sekarang. Penggunaan ‘oe’ untuk ‘u’, ‘tj’ untuk ‘c’, dan ‘dj’ untuk ‘j’ adalah beberapa contohnya. Meskipun demikian, keberadaan ejaan ini menandai era penting dalam sejarah linguistik Indonesia, menunjukkan sebuah permulaan yang baru dalam standarisasi.
Upaya pembakuan Bahasa oleh kolonial Belanda, terlepas dari motifnya, telah membuka jalan bagi kesadaran akan pentingnya bahasa persatuan. Ini memicu para cendekiawan dan tokoh pergerakan nasional untuk kemudian merumuskan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara merdeka. Warisan ini menunjukkan kompleksitas hubungan antara penjajah dan terjajah, bahkan dalam aspek bahasa.